ADSENSE 336 x 280
Risalah ini merupakan ringkasan dari risalah yang disusun oleh
Ustadz Farid Nu’man Hasan mengenai Adab dan Sunnah Berhari Raya,
yang beliau susun dengan gaya bahasa ilmiah sehingga terkesan berat bagi masyarakat
awam. Ringkasan ini kami susun agar muatan risalah tersebut dapat memberikan
faidah kepada masyarakat secara lebih luas.
Berhari raya bagi seorang muslim bukan sekedar berbahagia dan
bersenang-senang. Tetapi, justru momen untuk semakin menguatkan hubungan dengan
Allah Ta’ala, namun sayangnya hal ini sudah banyak dilupakan banyak umat Islam.
Mereka lebih fokus pada simbolitas semata, seperti berbaju baru, makan-makan,
dan menghabiskan uang.
Oleh karenanya, ada baiknya kita mengetahui adab-adab apa saja
yang mesti kita lakukan ketika berhari raya, yang dengannya berhari raya
menjadi bernilai ibadah di sisi Allah Ta’ala.
Adab-adab Hari Raya
1. Mandi Sebelum Shalat ‘Id
Ibnul Qayyim dalam Za’dul Maad mengatakan, Nabi mandi pada dua
hari raya, telah terdapat hadits shahih tentang itu, dan ada pula dua hadits
dhaif: pertama, hadits Ibnu Abbas, dari riwayat Jabarah Mughallis, dan hadits
Al Fakih bin Sa’ad, dari riwayat Yusuf bin Khalid As Samtiy. Tetapi telah
shahih dari Ibnu Umar –yang memiliki sikap begitu keras mengikuti sunnah- bahwa
beliau mandi pada hari raya sebelum keluar rumah.
2. Memakai
Pakaian Terbaik dan Minyak Wangi
Dari Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu, bahwa:
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan kami pada dua hari raya
untuk memakai pakaian terbaik yang kami punya, dan memakai wangi-wangian yang
terbaik yang kami punya, dan berkurban dengan hewan yang paling
mahal yang kami punya. (HR. Al Hakim dalam Al Mustadrak, hasan)
Nafi’ menceritakan tentang Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhu
saat hari raya: “Beliau shalat subuh berjamaah bersama imam, lalu
dia pulang untuk mandi sebagaimana mandi janabah, lalu dia berpakaian yang
terbaik, dan memakai wangi-wangian yang terbaik yang dia miliki, lalu dia
keluar menuju lapangan tempat shalat lalu duduk sampai datangnya imam, lalu
ketika imam datang dia shalat bersamanya, setelah itu dia menuju masjid Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam dan shalat dua rakaat, lalu pulang ke rumahnya.”
3. Makan Dulu
Sebelum Shalat ‘Idul Fitri, Tidak Makan Dulu Sebelum Shalat Idul Adh-ha
“Pada saat Idul Fitri
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidaklah berangkat untuk shalat
sebelum makan beberapa kurma.” Murajja bin Raja berkata, berkata kepadaku
‘Ubaidullah, katanya: berkata kepadaku Anas, dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam: “Beliau memakannya berjumlah ganjil.” (HR. Bukhari No. 953)
Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah, mengutip dari Imam Ibnu
Qudamah Rahimahullah, mengatakan, “Kami tidak ketahui adanya perselisihan
pendapat tentang sunahnya mendahulukan makan pada hari ‘Idul
Fithri.”
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
“Janganlah keluar pada hari Idul Fitri sampai dia makan dulu, dan janganlah
makan ketika hari Idul Adha sampai dia shalat dulu.” (HR. At Tirmidzi No.
542, Ibnu Majah No. 1756, Ibnu Hibban No. 2812, Ahmad No. 22984, shahih)
4. Melaksanakan Shalat ‘Id di Mushala (Lapangan)
Shalat hari raya di lapangan adalah sesuai dengan petunjuk
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, karena Beliau tidak pernah shalat Id,
kecuali di lapangan (mushalla). Namun, jika ada halangan seperti hujan,
lapangan yang berlumpur atau becek, tidak mengapa dilakukan di dalam masjid.
Dikecualikan bagi penduduk Mekkah, shalat ‘Id di Masjidil
Haram adalah lebih utama.
Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah berkata, “Shalat Id boleh
dilakukan di dalam masjid, tetapi melakukannya di mushalla (lapangan) yang
berada di luar adalah lebih utama, hal ini selama tidak ada ‘udzur seperti
hujan dan semisalnya, karena Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat
dua hari raya di lapangan, tidak pernah Beliau shalat di masjidnya kecuali
sekali karena adanya hujan.”
Dari Abu Hurairah, “Bahwasanya mereka ditimpa hujan pada hari
raya, maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat ‘Id bersama mereka di
masjid. (HR. Abu Daud)
5. Dianjurkan
Kaum Wanita dan Anak-anak Hadir di Lapangan
Mereka dianjurkan untuk keluar karena memang ini adalah hari
raya mesti disambut dengan suka cita. Syaikh Sayyid
Sabiq Rahimahullah mengatakan: “Dianjurkan keluarnya anak-anak dan
kaum wanita pada dua hari raya menuju lapangan, tanpa ada perbedaan, baik itu
gadis, dewasa, pemudi, tua renta, dan juga wnaita haid.”
Ummu ‘Athiyah Radhiallahu ‘Anha berkata: “Kami
diperintahkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk mengeluarkan anak-anak
gadis, wanita haid, wanita yang dipingit, pada hari Idul Fitri dan idul Adha.
Ada pun wanita haid, mereka terpisah dari tempat shalat. Agar mereka bisa
menghadiri kebaikan dan doa kaum muslimin. Aku berkata: “Wahai Rasulullah,
salah seorang kami tidak memiliki jilbab.” Beliau menajwab: “Hendaknya
saudarinya memakaikan jilbabnya untuknya.” (HR. Bukhari dan Muslim, dan
ini lafaznya Imam Muslim)
ADSENSE Link Ads 200 x 90
"Times New Roman";">Sunnah-sunnah Hari Raya
ADSENSE 336 x 280
dan
ADSENSE Link Ads 200 x 90
1. Shalat Hari Raya ‘Id
Dalam hal ini Allah Ta’ala berfirman: “Maka dirikanlah
shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah.” (QS. Al Kautsar: 2)
Shalat ‘Idul Adh-ha (juga Idul Fithri) adalah sunah
muakadah. Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah: “Disyariatkannya
shalat ‘Idain (dua hari raya) pada tahun pertama dari hijrah, dia
adalah sunah muakadah yang selalu dilakukan oleh
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Beliau memerintahkan kaum laki-laki
dan wanita untuk keluar meramaikannya.”
2. Mendengarkan Khutbah Hari Raya
Berkhutbah hari raya adalah sunah menurut jumhur ulama,
mendengarkannya juga sunah. Syaikh Sayyid Sabiq menerangkan: “Khutbah setelah
shalat ‘Id adalah sunah, mendengarkannya juga begitu.”
Dari Abdullah bin As Saa’ib Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
“Saya menghadiri shalat ‘Id bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam, ketika shalat sudah selesai, beliau bersabda: “Kami akan
berkhutbah, jadi siapa saja yang mau duduk mendengarkan khutbah maka duduklah,
dan yang ingin pergi, pergilah!” (HR. Abu Daud, shahih)
3. Berangkat dan Pulang Melewati Jalan yang Berbeda
Dari Jabir bin Abdullah Radhiallahu ‘Anhuma, katanya:
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam jika keluar pada hari Id akan
menempuh jalan yang berbeda. (HR. Bukhari No. 986)
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, katanya: Dahulu
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam jika keluar menuju shalat dua hari
raya, pulangnya menempuh jalan yang berbeda dengan keluarnya. (HR. Ahmad)
4. Mengucapkan Selamat Hari Raya: “Taqabbalallahu Minna wa
Minka”
Telah diriwayatkan dari Al Watsilah, bahwa beliau berjumpa
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan mengucakan: “Taqabballahu
minna wa minka (Semoga Allah menerima amal kami dan Anda).” Namun
sanad riwayat ini dhaif (lemah/tidak valid), sebagaimana yang
dikatakan Al Imam Al Hazifh Ibnu Hajar Al ‘Asqalani dalam Fathul Bari.
Namun, Imam Ibnu Hajar berkata:” “Kami meriwayatkan dalam
kitab Al Mahamilliyat, dengan sanad yang hasan (bagus), dari
Jubeir bin Nufair, katanya: dahulu para sahabat Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam jika mereka berjumpa pada hari raya, satu sama lain
berkata: “Taqabbalallahu minna wa minka.”
5. Bergembira dengan Pesta yang Halal
Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah: Melakukan
permainan yang dibolehkan, gurauan yang baik, nyanyian yang baik, semua itu
termasuk di antara syiar-syiar agama yang Allah tetapkan pada hari raya , untuk
menyehatkan badan dan mengistirahatkan jiwa.
Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallamdatang ke Madinah, saat itu mereka
memiliki dua hari untuk bermain-main. Lalu Beliau bersabda: “Dua hari apa ini?”
Mereka menjawab: “Dahulu, ketika kami masih jahiliyah kami bermain-main pada
dua hari ini.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam menjawab: “Sesungguhnya Allah telah menggantikan buat kalian dua
hari itu dengan yang lebih baik darinya, yaitu Idul Adha dan Idul
Fitri.” (HR. Abu Daud)
6. Bertakbir Pada Hari Raya
Untuk bertakbir pada ‘Idul Fitri, Allah Ta’ala berfirman: “Dan
hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah
(bertakbir) atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu
bersyukur.” (QS. Al Baqarah (2): 185)
Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah, dalam Fiqhus Sunnah,
mengatakan: “Mayoritas ulama berpendapat bahwa bertakbir pada ‘Idul Fithri
dimulai sejak keluar menuju shalat ‘Id, sampai mulainya khutbah. Hal itu telah
diriwayatkan dalam hadits-hadits dhaif, walau ada yang shahih hal itu dari Ibnu
Umar dan selainnya dari kalangan sahabat nabi. Berkata Al Hakim: ini adalah
sunah yang tersebar dikalangan ahli hadits. Dan inilah pendapat Malik, Ahmad,
ishaq, dan Abu Tsaur. (, 1/325).
Sedangkan Imam As Syafi’i mengatakan bahwa bertakbir sudah mulai
sejak awal tenggelam matahari akhir Ramadhan.
Untuk takbir pada ‘Idul Adh-ha, Allah Ta’ala
berfirman: “Dan berdzikirlah kepada Allah pada hari-hari yang telah
ditentukan.” (QS. Al Baqarah (2): 203). Maksud “hari-hari yang
telah ditentukan”adalah hari-hari tasyriq, sebagaimana dikatakan Ibnu
Abbas.
Waktu bertakbir bagi Idul Adha yang shahih adalah sejak hari
‘Arafah sampai ashar hari-hari tasyriq, yaitu 11,12,13, dari
Dzulhijjah. (Fiqhus Sunnah, 1/325). Ini adalah takbir khusus yang
dilaksanakan setelah shalat. Sedangkan takbir yang mutlak boleh dikerjakan
sejak tanggal 1 Dzulhijjah.
Dari Abdullah bin Umar, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda: “Tidak ada amal yang dilakukan di hari yang lebih
agung dan lebih dicintai Allah melebihi amal yang dilakukan di tanggal 1-10
Dzulhijjah. Oleh karena itu, perbanyaklah membaca tahlil, takbir, dan tahmid
pada hari itu.” (HR. Ahmad & Sanadnya dishahihkan Syaikh Ahmad Syakir)
Boleh dikeraskan suaranya, sebagaimana tertulis dalam Al
Mausu’ah: “Tidak ada perbedaan pendapat di antara fuqaha tentang kebolehan
bertakbir dengan dikeraskan di jalan menuju lapangan saat ‘Idul Adh-ha.”
0 Response to "Adab dan Sunnah di Hari Raya Idhul Adha"
Posting Komentar